Selasa, 09 Desember 2014

SOWAN KE TROWULAN VII

   
        Tibalah saatnya kunjungan ke pendopo agung dan museum, di entri kemarin sudah sedikit saya infokan kalau waktu itu ada acara besar di Trowulan. Yap! rupanya hari itu adalah hari jadi Majapahit ke 719 yeaahh... ^.^) Acara ini bukan hanya memperingati hari jadi saja, tapi merupakan ajang rekonsiliasi dua kerajaan yaitu Majapahit dan Padjajaran. Rekonsiliasi ini terkait perang Bubat yang terjadi sekitar tahun 1357 masehi/ 1279 saka pada masa pemerintahan Hayam Wuruk.



    
      Sedikit kisah tentang perang Bubat, diawalai saat Hayam Wuruk ingin memperistri Dyah Pitaloka putri dari kerajaan Padjajaran, selain terpikat oleh kecantikan Dyah Pitaloka, Hayam Wuruk dan Linggabuana (raja Padjajaran saat itu) ingin memperkuat satu sama lain lewat hubungan pernikahan. Gajah Mada sebagai patih yang saat itu sedang memegang sumpah palapa-nya melihat peluang untuk menjadikan kerajaan Padjajaran sebagai bawahan dan perluasan daerah kekuasaan Majapahit (tujuan sumpah palapa: Gajah Mada bersumpah tidak akan menikmati kesenangan duniawi sebelum berhasil mempersatukan nusantara di bawah kekuasaan Majapahit).




     Umumnya dalam pernikahan, pihak laki - laki yang mendatangi kediaman pihak perempuan tapi entah kenapa dalam pernikahan Hayam Wuruk - Dyah Pitaloka, pihak Padjajaran- lah yang datang ke Majapahit. Gajah Mada bertugas untuk menjemput rombongan pengantin ini di desa Bubat. Setelah kedua pihak bertemu, Gajah Mada mengutarakan niatnya kepada Linggabuana untuk menyerahkan Dyah Pitaloka sebagai selir, bukan istri (permaisuri) dan meminta Padjajaran untuk mengakui kekuasaan Majapahit. Karena tidak sesuai dengan kesepakatan awal, Linggabuana tidak menerima dan tentu saja terhina bukan main. Akhirnya iring-iringan pengantin ini berubah menjadi pertempuran antara Gajah Mada dengan pasukannya dan iring-iringan pengantin dari Padjajaran. Karena kalah jumlah dan persiapan, tentu saja pihak Padjajaran kalah total. Seluruh rombongan terbunuh termasuk Linggabuana, sedangkan permaisuri dan Dyah Pitaloka bunuh diri di tempat. Sementara di kotaraja, Hayam Wuruk bukan main kagetnya saat menerima kabar pertempuran di Bubat dan menyusul ke sana.
    


     Semenjak peristiwa itu hubungan antara Majapahit dan Padjajaran memburuk, gelombang kebencian atas penghinaan Majapahit makin menjadi dan berakhir dengan perang dingin berkepanjangan. Bahkan sampai saat ini pernikahan antara lelaki suku jawa dengan perempuan suku sunda masih dianggap pamali dan tidak boleh dilakukan. Perasaan saling tidak menyukai dan saling ejek masih terasa hingga sekarang (menurut saya sih) dari mulai mengajukan usul penamaan provinsi jawa barat menjadi provinsi sunda, dan seringnya orang-orang sana menjuluki jawa tengah dan jawa timur sebagai "jawa", tentunya sering kita mendengar istilah "pulang ke jawa" atau "pergi ke jawa" bila seseorang hendak berpergian dari jawa barat ke jawa tengah maupun jawa timur (>.<) see sakit hati itu masih ada, seperti sudah mendarah daging di setiap generasi :(
   





    Keadaan ini juga disadari oleh pihak - pihak terkait, karena generasi raja - raja juga masih memegang trahnya hingga saat ini (baik trah Padjajaran dan Majapahit) maka di hari jadi Majapahit ke 719 lembaga adat keraton padjajaran dan the sukarno center (pemangku kerajaan Majapahit saat ini yang berlokasi di Gianyar) mengadakan pertemuan dalam bentuk upacara yang disebut dharmasiksa. Dharmasiksa sendiri adalah nama dari kakek raden Wijaya, beliau adalah raja Padjajaran di era kerajaan Singhasari masih berkuasa. Jadi sebenarnya pendiri Majapahit adalah hybrid dari suku jawa dan sunda, baca jawa timur dua dan jawa timur tiga. See... Dyah Pitaloka dan Hayam Wuruk bersaudara, trah Majapahit bersaudara dengan trah Padjajaran, oleh karena itu perang bubat tidak selayaknya terjadi :(


SUMBER

SUMBER

      Upacara dharmasiksa merupakan rangkaian upacara simbol perdamaian disertai rasa saling memaafkan dan menghormati di antara kedua pihak atas terjadinya perang bubat di masa lampau. Yang menjadikan momen ini lebih istimewa lagi adalah kehadiran raja dan ratu kerajaan maupun kesultanan se - Indonesia.

SUMBER.

      Pendopo agung saat ini dipercaya sebagai lokasi pendopo Majapahit di masa lalu, letaknya tidak jauh dari museum dan kolam segaran, cukup jalan kaki beberapa menit dari jalan utama Mojokerto - Jombang. Saya suka sekali dengan tempat ini, suasananya sejuk, terlebih saat itu sedang dihias dan bersih, jadi makin betah rasanya :D sayang toiletnya tidak menyediakan kakus, jadi hanya bisa dibuat BAK dan mandi saja. Tempat parkir ada di sisi kanan pendopo, luas sekali dan sebagian jadi lahan pedagang dadakan. Memiliki dua gapura berbentuk candi bentar, dua gapura ini dihubungkan dengan seruas jalan aspal yang kanan kirinya merupakan halaman luar berupa pekarangan luas dengan beberapa pohon (pada saat itu halaman depan dijadikan tempat parkir khusus tamu undangan). Setelah masuk ke gapura kedua, kita akan disambut oleh patung raden Wijaya, patung dada Gajah Mada dan sebuah bangunan berupa joglo yang lumayan besar.





       Kami sempat berkeliling bangunan pendopo beberapa kali sebelum tamu-tamu penting datang hehehe... duduk-duduk di karpet yang sudah digelar, melihat-lihat ornamen, alat-alat upacara, panitia dan penari-penari yang sibuk berdandan di belakang pendopo, mengabadikan diri di setiap sudut, leyeh-leyeh melepas lelah setelah berkeliling ke situs-situs sedari pagi. Setelah beberapa rombongan datang dan prosesi mulai dilakukan, kami tetap saja duduk-duduk di situ, tanpa menyadari kalau ternyata tempat sudah disterilkan dari pengunjung umum sejak tadi, pantesan sepi uahahahahaaa... tapi kok tidak ada yang menegur ya hahahaaa mungkin waktu itu sosok  kami tidak terlihat (>.<)




       Di bagian belakang pendopo ada sebuah pagar dengan relief yang menceritakan pembangunan keraton Majapahit di masa raden Wijaya, berikut daftar nama raja-raja yang berkuasa dari awal hingga akhir. Di balik pagar ini kita akan menemukan halaman belakang yang rimbun oleh pepohonan dan terasa agak gimana gitu... kata orang jawa istilahnya singup (~.~)




     Setelah puas berkeliling, kami melanjutkan perjalanan ke museum dan kolam segaran. Sebenarnya ingin sekali melihat prosesi di pendopo agung, tapi karena acaranya tertutup jadi ya tidak bisa :(

Oke deh entri selanjutnya membahas tentang museum dan kolam segaran :D
Terimakasih sudah membaca... Semoga bermanfaat... :D

Minggu, 07 Desember 2014

MENGINAP DI YOGYAKARTA VII

RATU BOKO*
    
     Ratu Boko, salah satu destinasi yang sedari tadi ditawarkan melalui pengeras suara. Dengan membeli karcis seharga 15.000,- kita akan mendapatkan fasilitas antar jemput menggunakan sejenis mobil elf, rutenya Prambanan - Ratu Boko pulang-pergi. Setelah selesai menikmati candi Prambanan dan museum gratisnya, kami berjalan kembali menuju pintu keluar, nah sebelum pintu keluar ini lah lokasi pangkalan mobil elf yang akan menuju situs Ratu Boko. Kami akhirnya memutuskan untuk mengunjunginya :) Berangkatlah kami dengan tiga orang rombongan lain. Set!!! Saya langsung ambil posisi di depan hueheheee... Kami bisa ngobrol dengan sopir sekaligus bisa lebih menikmati suasana :) Kami keluar lewat pintu barat, jadi kami melewati sungai kecil di sebelah barat candi. Mobil terus melaju, menyebrang dan putar balik ke jalur lain. Menuju ke arah selatan, kami mulai memasuki perkampungan lalu area kebun-kebun pisang dan singkong, persawahan, perkampungan lagi, kemudian memasuki jalur setapak yang sempit dan hanya bisa dilalui satu kendaraan (jika berpapasan maka salah satu mobil/ motor akan berdiam diri menepi setepi-tepinya hahaha...) jalur setapak yang tidak beraspal ini sedikit naik turun, kebanyakan naik sih, berkelok dan tikungannya aduhai sekali jiah... Kami yang duduk di depan hanya bisa mringis kuda sambil saling pandang haduhhh -_-a 
       Oke akhirnya sampa di lokasi, kami turun, dan mobilnya langsung meninggalkan kami, ternyata untuk pulangnya bisa naik sembarang mobil yang baru sampai, seperti mobil yang tadi mengantar kami, setelah kami turun, langsung diserbu oleh para wisatawan yang akan kembali ke Prambanan. Saat pertama kali tiba, kami disambut dengan pendopo luas memanjang yang asri dan memiliki teras panjang dengan pemandangan indah di bawah, ini yang paling saya sukai dari Ratu Boko. Kita bisa memandang puncak Prambanan yang berkabut bersembunyi di antara pepohonan berteras hamparan sawah dan berlatar pegunungan di sisi utara :D Bagian itu nanti saja, kami langsung ke pintu masuk, sebelum masuk kami dibagi air mineral dingin sebotol kecil (gratis) dan mulailah perjalan melelahkan itu. Rupanya area pendopo dan halaman sebelum masuk merupakan tempat landai terakhir sebelum bertemu dengan Ratu Boko, karena setelahnya kami harus melalui jalan yang terus menanjak dan jauh... jalan yang sudah dibangun, ditutup dengan paving. Di kanan kiri terdapat taman dan gazebo - gazebo. Ada juga Mushala dan beberapa toilet yang tersebar secara acak. Pepohonan yang ada tidak cukup rindang, terbukti kami semua (kami dan wisatawan lain) terlihat lelah dan kepanasan. Sebotol kecil air mineral sudah tandas di tengah perjalanan, matahari pukul 10 pagi terasa lebih panas di sini jiaahh... mana ini Ratu Bokonya gak kelihatan... sementara jalanan masih menanjak.
      

1.LAYANAN ANTAR JEMPUT PRAMBANAN-BOKO, 2.MOBIL ELF*

     Kira - kira 45 menit-an kami sampai di depan Ratu Boko. Fyuuhhh.... sampai juga... kepanasan dan kelelahan ditambah ada sesi pemotretan prewed orang yang gak dikenal (Y U NO DI TEMPAT LAIN..?! >:@) bayar berapa mereka, bisa prewed di tempat umum dan mengganggu hajat wisata orang banyak tssaahh..! Menggelar dagangan tepat di tengah-tengah bangunan, berjam-jam, kadang juga menghalau pengunjung yang masuk view mereka, d*mn it! Saya jadi malas untuk mengeksplor ke atas, padahal masih banyak yang bisa dijelajahi dan diabadikan tanpa pemandangan yang membuat mata sakit itu.
     Ratu Boko yang berarti Raja Bangau, merupakan situs istimewa. Dulunya merupakan keraton, pemukiman penduduk dan tempat suci agama Budha, meskipun ditemukan juga simbol - simbol Hindu di sini. Zaman itu di mana Hindu dan Budha hidup bersisian, merupakan dua agama mayoritas penduduk nusantara. Hingga lahirlah aliran baru yang menjalankan ajaran keduanya, Siwa-Budha. Aliran ini banyak dijalankan oleh raja-raja dahulu untuk menciptakan suasana damai antar kedua agama pada masa itu. Hindu - Budha tak ubahnya seperti Islam - Kristen masa sekarang (sering bersinggungan) melatarbelakangi mpu Tantular menulis kakawin Sutasoma dan semboyan terkenal "Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Darma Mangrwa"
       Perbedaan keyakinan & agama sudah jadi persoalan yang selalu aktual di Indonesia (dan tidak akan selesai sampai kapanpun), Ah seandainya tokoh Sutasoma hadir di tengah masyarakat modern, dan kesadaran beragama para pemuka agama saat ini seluhur pendahulunya di zaman walisongo... (seandainya!) Oke cukup sudah seminarnya -_-a Kesimpulannya kalau mengunjungi Prambanan dan ingin juga ke Ratu Boko, datanglah ke Prambanan pukul 7 pagi tapi jangan masuk dulu, langsung ikut rombongan ke Ratu Boko, baru setelah itu eksplor Prambanan :)

'MULUT' RATU BOKO


1.MEJENG DENGAN LATAR BELAKANG PREWED ORANG, 2. INFO SITUS
     
      Tidak kurang dari 30 menit, kami turun kembali ke pendopo di depan. Melewati lagi jalanan paving yang semakin membakar suhu di permukaan karena memang memantulkan panas matahari (tidak menyerapnya seperti tanah atau aspal hitam) Sembari menunggu ada mobil elf yang datang, kami menghabiskan waktu beristirahat di teras pendopo yang menghadap ke Prambanan. Seandainya ini lebih pagi, tentunya lebih indah :)
     Perjalanan pulang melewati jalan setapak lebih seru lagi, kali ini elf hanya berisi kami berdua plus pak sopir. Lagi-lagi duduk di depan, kami lebih lebar lagi menunjukkan gigi, karena jika saat berangkat, jalanan kebanyakan menanjak, kali ini lebih berupa turunan-turunan curam hyaahhh..... jalan setapak tanah lembab, gaya gesek lebih kecil dari jalan aspal... membuat kami semakin sering menahan nafas! >_<

RATU BOKO: PRAMBANAN DIKEJAUHAN





      Saatnya meninggalkan Prambanan, mengambil barang-barang di tempat penitipan, makan nasi padang bareng turis di warung nasi padang depan Prambanan dan pesan bangku bis malam untuk kepulangan besok malam. Kami kembali menggunakan jasa BTY untuk kembali ke terminal Giwangan. Mencari kios perwakilan ZENA di lantai dua, ternyata cukup sulit -_-a Dari Giwangan kembali lagi naik BTY, kali ini kami menuju kawasan Malioboro, menuju hotel yang lokasinya masih harus dicari lagi :D


TRANS JOGJA: MENUJU HOTEL :D
      
       Menurut peta terdapat beberapa halte BTY di sepanjang kawasan Malioboro, kami turun di halte yang kedua. Berbekal peta dari google map, kami tidak sulit menemukan lokasi hotel. Tanpa nyasar, tanpa tanya ke orang hahaha.. expert sekali :v Info hotel selengkapnya buka

THE MAP

GAMPANG DITEMUKAN*

TEMPATNYA NYEMPIL*

1.LOBI, 2.TANGGA KE LANTAI DUA*
      
      Resepsionis masih sibuk dengan dua bule wanita yang juga akan check in, sementara kami menunggu di ruang tamu hotel yang nyaman dan dipenuhi benda-benda antik. Tibalah giliran kami, mengisi buku tamu dan KTP kami pun disimpan, yaelah... -_-a Dengan diantar oleh seorang yang tugasnya sepertinya merangkap bellboy dan OB, kami menuju kamar di lantai dua. Mandi, shalat dan segera tidur :D

PERTEMUAN DENGAN KASUR :D

Next: Malam minggu di Yogya
Note: Foto bertanda (*) dari berbagai sumber di Google

Sabtu, 06 Desember 2014

SOWAN KE TROWULAN VI


THE MAP*

        Perjalanan berlanjut ke situs di sisi timur, kami mengawalinya dengan mengunjungi situs Wringin Lawang. Dalam perjalan ke Wringin Lawang, kami kembali ke jalan utama Mojokerto - Jombang, kami melewati pusat perkulakan sepatu Trowulan. Kabarnya Trowulan pernah jaya dengan kerajian membuat sepatu. Hari memang masih pagi, hanya kami berdua pengunjung saat itu. Seperti sebelumnya di sini tidak ada biaya masuk, cukup mengisi buku tamu saja dan sumbangan seikhlasnya :)
     Wringin Lawang adalah sebuah gapura besar berbentuk candi bentar (gerbang terbelah), berada di tengah pemukiman, di bagian paling utara situs Trowulan, sangat dekat dengat jalan utama Mojokerto - Jombang, tidak seperti situs-situs di sisi barat yang letaknya jauh. Wringin Lawang yang dalam arti harfiahnya berarti "Pintu Beringin" banyak diduga sebagai pintu gerbang menuju kota Majapahit, karena memang letaknya memenuhi kriteria untuk disebut sebagai gerbang utama. Jika mengunjungi/ melewati Trowulan dari arah utara kita memang akan disambut terlebih dahulu oleh situs ini, seolah memberitahukan kepada siapa saja yang lewat, bahwa mereka telah memasuki kawasan kota Majapahit di masa lalu.


KINI SEPI: PAS DI DEPAN PUTAR-BALIK

WRINGIN LAWANG: PAGI HARI
     
       Tak lama setelah kami, satu keluarga kecil juga datang mengunjungi situs. Sejak dari sini, kami akan terus bertemu mereka di situs-situs selanjutnya (rupanya itinerary kita sama).  Setelah Wringin Lawang, alih-alih mengunjungi museum atau Kolam Segaran, kami lebih memilih melewati semua itu dan mengunjungi situs yang berada paling barat (terjauh dari jalan utama Mojokerto - Jombang) terlebih dahulu, Candi Tikus. Saat kami hampir mendekati perempatan besar Trowulan (lalu berbelok ke kiri) lalu lintas begitu ramai, karena hari ini bertepatan dengan hajat kota kecil Trowulan :) kebetulankah ini? mungkin iya, mungkin juga tidak, atau memang sudah berjodoh dengan momentum besar ini hehehe... :) Kesimpulannya adalah datanglah ke Trowulan setiap tanggal 10-11 November, dan menginaplah di Pendopo Agung (tapi kalau mau kasur empuk, menginaplah di Vihara) :D.
        Tidak sulit menemukan Candi Tikus, tinggal mengikuti peta saja :) Bagaimana masuknya? Mungkin sudah tidak perlu ditulis ulang, yup gratis. Dibandingkan dengan situs lain yang telah kami kunjungi, di sini lumayan ramai, kebetulan berbarengan dengan rombongan besar satu minibus. Pertanyaan pertama setelah sampai di tempat ini adalah tentang penamaannya, kenapa harus tikus? heheheee... kenapa tidak kupu-kupu atau jangkrik misalnya kwkwkwkkk... :v Ini bermula ketika awal ditemukannya candi ini (tepatnya saat penggalian) ternyata candi yang sudah terkubur entah berapa ratus tahun itu dijadikan pemukiman ribuan tikus tanah, sepertinya mereka menemukan yang sangat padat penduduk kwkwkwkkk :D Letak bangunannya memang menjorok ke bawah, lebih rendah dari dataran di sekitarnya, seolah-olah tidak terdapat apapun jika melihat situs ini dari jalan. Candi Tikus merupakan pentirtaan/ pemandian. Pusat mata airnya terletak di tengah dan harus turun meniti undak-undakan jika ingin sampai ke bawah. Terkadang kolam ini akan dipenuhi air, tetapi tidak ketika kami berada di sana. Hari menjelang siang ketika kami beranjak meninggalkan situs, sekali lagi menunda lapar dengan sebungkus cilok dan segelas pop ice yang banyak dijual di luar area situs. Makan siangnya nanti saja, berharap mengenyangkan perut dengan lalapan ikan wader dari hasil tangkapan penduduk di Kolam Segaran hehehe... :)

CANDI TIKUS

       
       Selanjutnya adalah Candi Bajang Ratu, karena tadi sudah melewati, jadi tinggal putar balik saja :D Ada hal yang tidak kalah menarik dibandingkan dengan situsnya, apa itu? yup buah Maja, buah yang terkenal dan melegenda itu loh hehehe... Sedikit mengulang kisah ketika Raden Wijaya dan pengikutnya membuka hutan.
 

      "...Raden Wijaya yang kala itu memimpin ke utara berhasil meloloskan diri bersama sekitar duabelas pasukannya yang tersisa. Ia lari dari kejaran sampai menyebrang ke Madura. Di Madura, ia meminta perlindungan kepada Arya Wiraraja. Arya Wiraraja menyanggupinya dan membujuk Jayakatwang agar melepaskan Raden Wijaya. Karena Arya Wiraraja yang meminta, Jayakatwang pun mau. Akhirnya Raden Wijaya kembali ke Singhasari dan berkumpul dengan para istrinya. Ia kemudian diberi sebuah lahan untuk dibuka, lahan tersebut masih berupa hutan dan berada di daerah Trowulan - Mojokerto. Disaat membuka hutan itulah para pekerja yang kehausan menemukan sebuah pohon yang memiliki buah yang terlihat menyegarkan. Karena banyak pohon yang seperti itu, akhirnya para pekerja itu mengumpulkan buahnya dan mempersembahkan kepada Raden Wijaya. Saat dimakan ternyata buah itu berasa pahit. Dan jadilah buah itu diberi nama Maja karena rasanya pahit melilit. Dan tempat baru itu diberi nama Majapahit. Kemudian diangkatlah Raden Wijaya sebagai akuwu di daerah itu. Banyak rakyat Singhasari yang loyal kepada Kertanegara pindah ke Majapahit."
Selengkapnya di sini



PLANG YANG DIPAKU: POHON MAJA
ASAL NAMA KERAJAAN MAJAPAHIT

BUAH MAJA

      Lalu tentang situs Bajang Ratu sendiri, sebenarnya adalah sebuah gapura berbentuk paduraksa (gerbang beratap). Berlawanan dengan Wringin Lawang yang didaulat sebagai gerbang utama memasuki kota Majapahit, Bajang Ratu dianggap sebagai pintu belakang yang diduga menuju ke pemakaman Raja Jayanegara (Raja kedua Majapahit), begitu pula dengan penamaannya, Bajang Ratu yang berarti Raja kecil yang bila dikaitkan dengan Jayanegara karena penobatannya sebagai Raja muda di daerah Daha ketika dia masih batita (bawah tiga tahun) pemerintahannya di daerah persemakmuran Majapahit (Daha/Kediri) diwakili oleh Lembu Sora yang kala itu menjabat sebagai Patih bawahan di Daha.
 

GAPURA BAJANG RATU

       Perjalanan berlanjut ke situs Troloyo, ini merupakan komplek pemakaman Islam, kami hanya parkir sebentar saja dan tidak masuk ke komplek karena melihat suasana yang begitu riuh dan panas menyengat disamping juga sudah mulai capek dan kejar waktu (begitu banyak rombongan entah berapa bis yang parkir, belum lagi carteran, mobil pribadi, entah berapa ratus orang yang mengunjungi, dan mereka semua punya satu tujuan, berziarah ke sebuah makam yang diklaim sebagai makam Sayyid Djumadil Kubro). See... Majapahit ternyata sudah begitu bhinneka di zamannya :)  


LUAR, PUSARA, DAN DALAM MAKAM*

      Berikutnya adalah Candi Kedaton dengan sumur upasnya yang melegenda, letaknya masih masuk lagi ke jalan pemukiman penduduk yang lebih sempit tetapi masih beraspal, sebelum itu terdapat juga situs Lantai Segienam yang letaknya benar-benar di dalam pekarangan orang, keduanya saling berdekatan (berjarak sekitar 300 meter) dalam satu jalan. Kita akan menemukan Lantai Segienam dahulu, kemudian Kedaton.
      Situs Candi Kedaton lebih berupa pondasi bangunan yang memiliki ruang bawah tanah rumit. Ruang bawah tanah berupa lorong-lorong yang diduga sebagai jalan rahasia yang berhubungan dengan banyak bangunan-bangunan penting di kota Majapahit pada masa lalu, bahkan kerajaan lain dan tempat pelarian di luar kota. Sedangkan bagian atas bangunan mungkin sekali berupa bangunan berdinding kayu (menurut saya sih). Kedaton diartikan sebagai keraton atau puri tempat tinggal Raja-Ratu. Sampai saat ini masih belum terpecahkan bagaimana bentuk awal bangunan dan tujuan serta fungsi bangunan. Mungkin dulunya tempat ini merupakan keraton utama keluarga raja (sedangkan singgasananya diduga berada di tempat pendopo agung sekarang) karena digunakan untuk tinggal, struktur bangunan atas terbuat dari kayu, mungkin dengan ukiran, bentuk dan simbol yang indah... megah dengan atap yang tinggi dan berukir... :) sehingga tidak heran bila bangunan ini hanya tersisa sebuah pondasi datar yang luas yang semakin digali semakin tidak ditemukan jawabannya kecuali lorong-lorong rumit sebagai jalan pelarian raja dan keluarganya bila terjadi bahaya, pemberontakan misalnya, yah mungkin saja begitu (lagi-lagi cuma menurut saya lho ya). Komplek ini lumayan luas dan lengkap, selain Kedaton terdapat juga gua dan sumur. Gua yang diduga sebagi tempat semedi raja, dan sumur yang sampai sekarang begitu disakralkan dan ditakuti penduduk turun temurun, mungkin saja karena itu adalah mata air yang digunakan raja dan keluarganya sehari-hari (kembali asal tebak) hehehee... Entah sejak kapan tersiar kabar dan mitos-mitos seram dari sumur itu sehingga tidak ada yang berani mengambil airnya ataupun berlama-lama berada di dekatnya. Saya maklum, zaman dulu, mitos mengerikan umumnya memang diciptakan untuk melindungi sesuatu dari perusakan/ penjarahan. Let a mystery stay in mystery :) Dan kami termasuk dari yang percaya akan itu, bisa ditebak, kami tidak masuk, hanya mingintip dari luar, sudah sejauh ini padahal hahahahaa... :v


FROM THE OUTSIDE: KOMPLEK CANDI KEDATON

RERUNTUHAN KEDATON DAN SUMUR UPAS*

LORONG KEDATON, DALAMNYA SUMUR UPAS*

    Putar balik dan mampir ke situs Lantai Segienam. Karena letaknya yang nyungkani, kami mampir sebentar sekali, takut mengganggu yang punya pekarangan, itupun hanya saya yang turun ke lokasi hihi... :D Kondisi situs sudah hancur lebur hanya menyisakan dasar pondasi yang tidak bisa dikenali lagi. Di situs ini ditemukan susunan ubin berbentuk segienam (istilah sekarang paving) kira-kira ini dulunya apa, kira-kira sama dangan Kedaton (meskipun dari segi ukuran jauh lebih kecil), sebuah tempat tinggal (mungkin pejabat kerajaan atau yang lainnya, karena terlalu mewah jika hanya sebuah rumah penduduk). Bisa dengan atau tanpa lorong-lorong di bawahnya, (terakhir deh main asal tebaknya) hehehe... who knows :)




SELFIE? NO, THIS IS CALL TAKE A PICTURE BY MY OWN SELF!

Selanjutnya adalah kunjungan ke pendopo agung, museum dan membahas hajatan 11 November, next entry bubay... :)

Note: Foto bertanda (*) dari berbagai sumber di Google

Rabu, 22 Oktober 2014

SOWAN KE TROWULAN V


Bejijong, 11 November 2012


      Hari masih begitu muda ketika kami terpaksa bangun dari tidur yang sebentar, karena kenyataannya saya tidak bisa tidur. Entahlah dengan mbak Fina hehehe... setelah selesai melakukan rutinitas pagi, kami segera mohon pamit kepada pengurus asrama dan pengurus - pengurus lainnya. Waktu itu masih pukul 6.30 pagi. Dan sepeda motor yang kemarin malam dijanjikan pun sudah disediakan, alhamdulillah... :D Tujuan pertama kami adalah situs Sitinggil, letaknya kira - kira 500 meter dari wihara, dengan sebuah peta dan ditunjang dengan motor, kami berhasil sampai di lokasi tanpa drama apapun hehehe... :D
       Situs ini berada di tengah - tengah kebun tebu, dan waktu kami ke sana, tebunya pas sedang tinggi - tingginya hehe... tapi untuk akses jalan sudah baik, cukup lebar untuk dilewati mobil. Di sinilah kira - kira dikebumikan raja pertama sekaligus pendiri kerajaan Majapahit, Sri Kertarajasa Jaya Wardhana atau yang lebih dikenal dengan Raden Wijaya. Ada sebuah cerita mengenai kematian Raden Wijaya, beliau diriwayatkan mengalami moksa (meninggal tanpa meninggalkan jasad, moksa sebagai tujuan akhir dan pencapaian tertinggi pemeluk agama Hindu. Yaitu ketika jiwa seorang manusia yang meninggal akan menyatu dengan penciptanya dan tidak lagi mengalami proses renikarnasi kehidupan. Hal ini dikarenakan seseorang telah paripurna menjalankan ajaran dan telah bersih sempurna dari dosa dan ikatan duniawi). Sehingga bisa disimpulkan makam R. Wijaya di situs Sitinggil hanyalah identitas, di sinilah tempat R. Wijaya biasa melakukan penyepian semasa hidupnya. Kisah R. Wijaya mendirikan Majapahit bisa dibaca lagi di sini dan di sini.

PINTU MASUK*

SUMUR DI BAGIAN BELAKANG SAMPING KIRI

MAKAM SEBAGAI IDENTITAS*
   
      Selain makam R. Wijaya, terdapat pula dua buah makam yang masing - masing bertuliskan nama (lebih ke julukan/ nama samaran/ gelar) Sapu Jagad dan Sapu Angin yang tidak diketahui dengan jelas latar belakang sejarahnya. Menurut para penjaga situs, kedua makam tersebut dikeramatkan dan merupakan makam dari orang - orang sakti. Lalu apa hubungannya dengan R. Wijaya sehingga kedua makam ini berada satu lokasi dengan makam raja pertama Majapahit itu? Saya tidak sempat menggali terlalu dalam, mungkin diantara pembaca ada yang mengetahui tentang hal ini bisa meninggalkan komentar hehehe... :v


TIDAK DIKENALI DAN KERAMAT*

TIDAK BERANI MASUK
      Sayangnya kami tidak berani masuk ke area makam, waktu itu masih pagi sekali, belum juga pukul 7, susana masih sepi, tidak ada pengunjung lagi selain kami berdua, dan dua orang penjaga situs berada agak jauh dari jangkauan kami hehehe... Lagi pula suasananya begitu "sesuatu" sekali hehehe... :D Tidak diberlakukan tarif resmi untuk memasuki situs, tetapi ada sumbangan sukarela yang dimasukkan di semacam kotak. Semoga bisa digunakan untuk biaya pemeliharaan situs :)
       Perjalanan diteruskan ke candi Brahu, letaknya sekitar 1 - 2 km dari situs Sitinggil (bersyukur sekali dapat pinjaman motor) candi Brahu merupakan candi tempat pembakaran jenazah di masa lalu (empat raja Majapahit dikremasi disini, tetapi tentang siapa saja raja tersebut masih dalam taraf dugaan), tentunya saat ini sudah tidak difungsikan lagi sebagai tempat pembakaran, meskipun jumlah umat Hindu di Mojokerto merupakan minoritas di sini. Sama seperti situs Sitinggil, disini juga tidak dikenai tarif masuk, cukup menulis nama dan alamat di buku tamu dan memasukkan sumbangan sukarela. Bedanya dengan Sitinggil, di sekitar candi Brahu banyak terdapat warung makan dan jajanan, karena lokasinya juga ramai dan dilewati jalanan desa yang sudah diaspal. (jalan menuju Sitinggil masih berupa jalan tanah yang membelah kebun tebu)


AGAK MIRING

PENAMPAKAN MOTOR PINJAMAN

SILUET

CANDI BRAHU*
 
    Sfx: kruyukkk... (Bunyi apaan itu hehehe...) sepertinya kami mulai lapar, jam masih menunjukkan pukul 8 kurang (penyebutan waktu macam apa ini wkwkwk...) warung - warung masih tutup, yang buka hanya warung yang jual minuman saja ppffttt... akhirnya ketemu sama warung yang sepertinya jualan nasi (ciri - ciri warung yang menyediakan nasi adalah; terdapat bakul, terdapat tumpukan daun pisang, terdapat tenong berisi sesuatu) pas kami masuk eh ternyata itu bakul isinya gorengan tok rek... dan tenongnya isinya sambel petis ealah... wkwkwkwkkk... Ya sudah gak apa lah lumayan buat pengganjal perut kwkwkwk... :v
       Selanjutnya adalah candi Gentong (Membayangkan candi berupa gentong air raksasa yang ada tutupnya, tutupnya bentuknya mengerucut ke atas seperti kepala candi di candi Prambanan) Eits... ternyata salah... Candi Gentong bentuknya seperti ini.... (check it out) and check this out. 


MANA GENTONGNYA?

Tidak banyak uraian sejarah dari candi Gentong, entah dulu candi ini difungsikan untuk apa, dan sampai sekarang masih sulit untuk direka ulang bentuk utuh dari candi ini, karena saat ditemukan (untuk keduakalinya, penemuan pertama dikabarkan candi masih berbentuk tetapi tidak ada usaha pemeliharaan), candi ini sudah runtuh, hanya menyisakan bagian kaki candi saja tanpa ada sisa reruntuhan dari badan atau kepala candi, kemana gerangan batu - batu itu? ah... begitulah di negara ini (maupun negara lain) yang selalu saja hobi menjarah dan memperjual belikan peninggalan nenek moyangnya sendiri *sad*
     Usainya kunjungan di candi Gentong menandakan situs Trowulan di sisi barat sudah habis, kami melanjutkan kunjungan ke situs yang berada di sisi timur (pembatas barat dan timur adalah jalan raya Mojokerto - Jombang) sayonara... *\(^_^)/*


~(-_-)~~(-_-)~ B for Bonus ~(-_-)~~(-_-)~

R. WIJAYA DIWUJUDKAN SEBAGAI WISNU*
    
    Lambang Universitas Brawijaya menggunakan perwujudan R. Wijaya sebagai Wisnu. Brawijaya merupakan akronim dari Bhra (singkatan dari bhatara)  dan Wijaya. Bhatara Wijaya diidentikkan dengan Dyah Ranawijaya/ Bhatara Ranawijaya yang memerintah Majapahit sebagai raja terakhir (sebelum Majapahit dikuasai oleh kesultanan Demak) dengan pusat pemerintahan di Daha (Pusat pemerintahan Majapahit yang dipindah dari Trowulan ke Daha dengan alasan/ penyebab yang tidak saya mengerti {ketika itu Majapahit merupakan kerajaan kecil, tidak seperti sebelumnya}). Pemilihan nama Brawijaya adalah satu dari tiga pilihan nama yang diberikan oleh presiden Soekarno, diantara nama - nama tersebut adalah; Tumapel, Kertanegara dan Brawijaya.

>>>Folktale dari Tumapel - Singhasari - Majapahit<<<
>>>Siji<<< >>>Loro<<< >>>Telu<<<


*


PINTU GERBANG SELATAN BERBENTUK CANDI BENTAR*

PEDESTRIAN JALAN VETERAN
DIHIASI EMBLEM MAJAPAHAIT

EMBLEM MAJAPAHIT/ SURYA MAJAPAHIT
(PEDESTRIAN UNIV. BRAWIJAYA)



*

Note: Keterangan gambar dengan tanda (*) dari berbagai sumber di Google