Sabtu, 31 Agustus 2013

SOWAN KE TROWULAN III

Cerita sebelumnya...
      "Kami memutuskan untuk kembali ke pos polantas, setidaknya di sana lebih ramai dan banyak orang. Mungkin karena saat itu malam minggu ya suasana jadi ramai begitu... -_- Ternyata banyak juga cewek-cewek yang senasib dengan kami, mereka umumnya mau mudik ke Jombang... (Oh anak kuliahan to...) Membentuk group begini (Berlima) kami pun sama - sama mencari solusi... dimulailah perjuangan itu... (Cari tumpangan mode on) Apapun itu yang penting bisa mencapai entah berapa kilometer ke arah selatan... :O Jam menunjukkan pukul 18.20..."
        Lumayan lama nggembel di perempatan membuat kami cukup jengkel, mbk Fina masih malu-malu, sedangkan aku mulai melambai-lambaikan tangan ke kendaraan yang lewat. Sekali ada truck yang berhenti, tapi kami kalah dengan para bapak-bapak dan mas-mas yang langsung berebut naik ke truck, lagipula membayangkan hanya kami berlima saja yang cewek, cukup membuat kami malas ikut berebut naik :( tapi ternyata Allah masih sayang dan mendukung perjalanan ini, beberapa menit setelah itu ada bapak-bapak yang berteriak dari dalam sebuah pick up dan menawarkan kami tumpangan, kurang lebih seperti ini teriakannya,"Hee mbak momot jagung gelem gak mbak...?" kami pun langsung menyerbunya ahahahahaaa... alhamdulillah... :D, "Gelem pak, gelem...!!!" dua dari tiga cewek kenalan kami karena mereka pakai rok, akhirnya duduk di depan, dan bapak-bapak yang di depan pindah naik ke belakang pick up bersama kami. Yang ikut menyerbu tumpangan ini hanya ibu-ibu, mbak-mbak, anak-anak, kami dan seorang kakek. Sementara para mas-mas dan bapak-bapak yang juga sedang mencari tumpangan hanya melihat saja, dan ada satu dua orang yang membantu menaikkan anak-anak dan manula. Mungkin mereka tidak tertarik untuk berebut karena yang pertama nyantol dan memang ditawari adalah sekumpulan cewek-cewek (menurutku sih...) :D Begitu juga kenapa yang berebut hanya mayoritas ibu-ibu, mbak-mbak dan anak-anak karena mereka melihat kami (cewek-cewek semua) yang pertama kali mengisi celah di sela-sela jagung jadi mereka tidak sungkan ikut berebut naik hahahaha... :D
        Pick up hanya berhenti sebentar, tidak kurang dari satu menit! Setelah bapak-bapak yang tadi pindah ke belakang memberi kode pada sopir kalau penumpang sudah ready, kami pun berangkat menuju Trowulan bersama penumpang-penumpang lain dengan tujuannya masing-masing... :D Senang sekali rasanya bisa dapat tumpangan juga di saat-saat genting seperti itu.. :) Sepenjang jalan kami semua sesekali tertawa-tawa mengingat perjuangan yang baru saja terjadi, best experience ever with new people pokoknya... :D Aku menyambung pesan lewat bapak yang tadi pindah ke belakang kalau minta turun di perempatan lampu merah Trowulan. Suasana lalu lintas lancar tanpa hambatan apapun, aku mulai merasakan hembusan angin yang berbeda, semilir dari Majapahit! :) (Serius lho...) hampir empat puluh menit berlalu, mobil pick up tumpangan kami akhirnya melewati Wringin Lawang, itu pertanda tujuan kami sudah dekat. Tak lama kemudian pak sopir menyebutkan tempat pemberhentian kami. Alhamdulillah akhirnya kami sampai... dan merupakan penumpang yang pertama turun... :) Saat aku mengulurkan lembaran uang, dengan ramah pak sopir dan awaknya menolak pemberian kami... alhamdulillah lagi... Terimakasih semuanya... ^_^


DENAH PEREMPATAN LAMPU MERAH TROWULAN


        Menurut peta dari perempatan lampu merah Trowulan, kami mengambil jalan ke kanan, itu berarti kami harus menyebrang dulu. Setelah mencapai sisi lain jalan, kami agak ragu untuk masuk lebih jauh, akhirnya aku bertanya ke sebuah warung yang ada di ujung jalan. Ternyata kami salah turun,  seharusnya masih beberapa ratus meter lagi ke selatan, dan kami disarankan melewati jalan besar saja daripada lewat sini... -_- Akhirnya kami kembali berjalan ke arah selatan sampai menemukan kantor polisi dan museum Trowulan Lama... Setelah beberapa saat karena yang dicari tidak ketemu dan malah menemukan sebuah jalan yang lebih kecil daripada jalan di perempatan tadi, sekaligus tertarik dengan tulisan yang ada di gapuranya yang berbunyi, "Pusat Kerajinan Kuningan Desa Bejijong" kami memutuskan untuk menyusurinya saja... :)
     Sampai di sini kami pun buta arah :I Sudah pukul 19.30 waktu itu... Rupanya kami memasuki daerah perkampungan, sepanjang jalan di kanan kiri berjejer rumah - rumah penduduk, sesekali kami menemukan rumah dengan plang yang menerangkan bahwa rumah itu merupakan bengkel cor kuningan pembuatan patung dan kerajinan lain. Semakin ke dalam jalanan makin gelap, terang gelap berselang seling, gelap karena kami melewati kebun tebu atau bambu :I kalau sudah begitu, kami akan berlari sekencangnya sampai bertemu dengan jalanan yang terang (selingan rumah penduduk lagi). Untuk ukuran sebuah desa, pukul 19.30 sudah bisa dibilang larut... :I
       Karena makin tak menentu akhirnya aku bertanya kembali pada penduduk yang kebetulan masih ngobrol di luar rumahnya. Untuk menuju wihara kami jalan lurus sampai mentok lalu belok kiri, kira-kira 500meter 500meter 500meter!!! Baguslah... kami pun mengulangi perjalanan diselingi lari-lari malam saat melewati kebun yang gelap... :I kira-kira dua puluh menit kami sudah berbelok ke arah kanan, syukurlah rupanya di sini lumayan ramai, banyak orang - orang masih bergerombol dan bercakap-cakap :D Karena dikejauhan ternyata merupakan ujung dari jalan ini (rupanya tembus ke jalan besar Mojokerto - Jombang) sekali lagi aku bertanya pada salah satu kumpulan orang-orang di sana. Untuk menuju wihara ada dua arah dari sini, kembali berjalan lurus kemudian belok kanan mentok bertemu area pemakaman desa lalu mengikuti jalan yang berbelok ke kiri, jalan sedikit sampai. Atau jalan lurus sampai ke jalan besar, lalu menyusuri jalan besar ke selatan sampai bertemu kantor polisi dan museum Trowulan Lama kemudian masuk ke jalan kecil, setelah itu belok kiri terus belok kanan... -__-  Akhirnya kami pilih jalan yang terdekat, yaitu melewati pemakaman desa :I


SALAH SATU BIARAWATI : P

       Kami lanjutkan perjalanan, ternyata setelah jalan lurus dan sudah bebelok ke arah kanan suasana begitu sepi dan gelap :I Akhirnya kami menemukan pemakaman desa sudah berjarak sekitar 100 meter di depan, masalahnya di depan pemakaman ada sebuah gardu pos yang kelihatannya tidak sedang kosong (ada orangnya boooo') karena kami lebih takut pada manusia daripada makhluk astral (di tempat-tempat seperti ini) dan tidak mau terlihat seperti orang yang baru pertamakali lewat situ, takut, lemah dan sebagainya akhirnya kami memilih untuk bersikap biasa (tidak lari terbirit-birit seperti saat melewati kebun gelap tadi) :O
        Ternyata benar, ada orang. Mas-mas gitu sendirian gak jelas, untung setelah mentok dan mengikuti arah jalan yang berbelok ke arah kiri ada rumah penduduk, meskipun setelah itu kami harus menghadapi kebun bambu yang kelihatannya begitu panjaaang... :O Kami kembali terbirit-birit sampai akhirnya aku menemukan sebuah pagar tembok dengan pagoda - pagoda kecil sebagai hiasan yang berisi lampu ffffyuuuuuhhh.... legaaaaaa sekaliiii..... akhirnya kami sampai di wihara!!! Setelah menemukan pintu gerbangnya, kami pun masuk, lolongan anjing segera menyambut kedatangan kami malam itu... Sementara jam HP menunjukkan pukul 20.20 :) 

Jumat, 16 Agustus 2013

MENGENAL LEBIH DEKAT GARUDA PANCASILA

      Kita sebagai bangsa Indonesia tentu sering melihat dan sangat mengenal gambar di bawah ini. Namun apakah kita benar-benar mengenal gambar tersebut? Jika ditanya itu gambar apa, tentu kita bisa menjawabnya. Namun apakah kita bisa menjawab dengan benar apa nama gambar itu? Siapa perancang gambar itu? Bisakah anda menjelaskan secara detail lambang-lambang yang terkandung di dalamnya? Marilah kita mulai satu per satu.

Sekilas
       Gambar dibawah merupakan lambang negara Indonesia. Lambang negara berupa seekor Burung Garuda berwarna emas berkalungkan perisai yang di dalamnya bergambar simbol-simbol Pancasila, dan mencengkeram seutas pita putih yang bertuliskan “BHINNEKA TUNGGAL IKA”. Sesuai dengan desainnya, lambang tersebut bernama resmi Garuda Pancasila. Garuda merupakan nama burung itu sendiri, sedangkan Pancasila merupakan dasar negara Indonesia yang disimbolkan dalam gambar-gambar di dalam perisai yang dikalungkan itu. Nama resmi Garuda Pancasila yang tercantum dalam Pasal 36A, UUD 1945.

Lambang NKRI


Sejarah
        Sultan Hamid II, perancangan lambang negara dimulai pada Desember 1949, beberapa hari setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat oleh Belanda. Kemudian pada tanggal 10 Januari 1950, dibentuklah Panitia Lencana Negara yang bertugas menyeleksi usulan lambang negara. Dari berbagai usul lambang negara yang diajukan ke panitia tersebut, rancangan karya Sultan Hamid II lah yang diterima. Sultan Hamid II (1913–1978) yang bernama lengkap Syarif Abdul Hamid Alkadrie merupakan sultan dari Kesultanan Pontianak yang pernah menjabat sebagai Gubernur Daerah Istimewa Kalimantan Barat dan juga Menteri Negara Zonder Portofolio pada era Republik Indonesia Serikat.
       Setelah disetujui, rancangan itupun disempurnakan sedikit demi sedikit atas usul Presiden Soekarno juga masukan berbagai organisasi lainnya, akhirnya pada bulan Maret 1950, jadilah lambang negara seperti yang kita kenal sekarang. Rancangan final lambang negara itupun akhirnya secara resmi diperkenalkan ke masyarakat dan mulai digunakan pada tanggal 17 Agustus 1950, kemudian disahkan penggunaannya pada 17 Oktober 1951 oleh Presiden Soekarno didampingi Perdana Menteri Sukiman Wirjosandjojo melalui PP 66/1951, sedangkan tata cara penggunaannya diatur melalui PP 43/1958.
       Meskipun telah disahkan penggunaannya sejak tahun 1951, tidak ada nama resmi untuk lambang negara itu, sehingga muncul berbagai sebutan untuk lambang negara itu, seperti Garuda Pancasila, Burung Garuda, Lambang Garuda, Lambang Negara, atau hanya sekedar Garuda. Nama Garuda Pancasila baru disahkan secara resmi sebagai nama resmi lambang negara pada tanggal 18 Agustus 2000 oleh MPR melalui amandemen kedua UUD 1945.

Makna dan Arti Lambang
       Garuda Pancasila terdiri atas tiga komponen utama, yakni Burung Garuda, perisai dan pita putih.

Burung Garuda
      Burung Garuda adalah seekor burung mitologis, setengah manusia setengah burung, wahana Wisnu (biasa disebut Garuda Wisnu Kencana), burung mistis yang berasal dari Mitologi Hindu yang muncul pada kitab mahabharata berasal dari India, lebih tepatnya bagian pertama yaitu Adiparwa. Ceritanya Garuda adalah anak dari Begawan Kasyapa. Begawan Kasyapa memiliki dua istri, yaitu Sang Kadru dan Sang Winata. Setelah sekian lama, mereka belum juga memiliki anak. Lalu Kasyapa memberikan 1000 telur pada Kadru dan 2 telur pada Winata. Telur milik Kadru menetas menjadi 1000 ekor ular sakti, dan milik Winata belum. Karena Winata merasa malu, lalu ia memecah satu telur tersebut. Keluarlah seekor burung kecil yang belum sempurna bentuknya, cacat tak berkaki, diberi nama Anaruh. Telur yang tinggal 1 itu dijaga baik-baik oleh Winata. Suatu hari, Winata kalah bertaruh dengan Kadru karena kecurangan kadru yang membuat Winata harus menjadi budak dan melayani Kadru beserta 1000 ekor ular. Dan telur Winata satunya pun akhirnya menetas menjadi Garuda. Besar, gagah, bersinar, dan sakti. Untuk menolong ibunya, Kadru menyuruh Garuda mengambil Amerta, air kehidupan milik dewa. Amerta dijaga para dewa dan dikelilingi api yang menyala. Garuda pun melawan para dewa dan menyembur dengan air laut untuk mematikan api tersebut. Pesan ibunya, “bila menelan orang lehermu terasa panas, itu tandanya Brahmana ikut termakan. Muntahkanlah, karena ia seperti ayahmu Begawan Kasyapa. Kamu harus menghormatinya”. Berhasillah Sang Garuda merebut Amerta. Lalu dibawanya ke Kadru untuk menyelamatkan ibunya. 1000 ular sudah sangat senang melihat amerta dan Winata dibebaskan, tetapi Garuda tak kehilangan akal. Dikibas-kibaskan sayapnya agar ular kotor, dan pergi membersihkan badan dulu di sungai. Garuda pergi meninggalkan tempat itu dan membawa Amerta kembali. Di perjalanan ia bertemu dengan Dewa Wisnu, meminta untuk Amerta diserahkan kembali ke para dewa. Dan Sang Garuda pun menjadi tunggangan Dewa Wisnu.  Dari kisah tersebut kita dapat mengetahui alasan mengapa burung Garuda menjadi lambang Negara kita. Sosoknya yang rela berkorban mengeluarkan ibunya dari penderitaan, diibaratkan seperti pemuda bangsa yang rela mati-matian mengusir penjajah untuk menyelamatkan Ibu Pertiwi. Garuda seringkali dilukiskan memiliki kepala, sayap, ekor dan moncong burung elang, dan tubuh, tangan dan kaki seorang manusia. Mukanya putih, sayapnya merah, dan tubuhnya berwarna keemasan. Burung Garuda sendiri melambangkan kekuatan, sementara warna emas pada burung garuda melambangkan kemegahan atau kejayaan. Pada burung garuda itu, jumlah bulu pada setiap sayap berjumlah 17, kemudian bulu ekor berjumlah 8, bulu pada pangkal ekor atau di bawah perisai 19 dan bulu leher berjumlah 45. Jumlah-jumlah bulu tersebut jika digabungkan menjadi 17-8-1945, merupakan tanggal di mana kemerdekaan Indonesia diproklamasikan.

Perisai
    Perisai yang dikalungkan melambangkan pertahanan Indonesia. Pada perisai mengandung lima buah simbol yang masing-masing simbol melambangkan sila-sila dari dasar negara Pancasila. Bagian tengah terdapat simbol bintang bersudut lima yang melambangkan sila pertama Pancasila, Ketuhanan yang Maha Esa. Lambang bintang dimaksudkan sebagai sebuah cahaya, seperti layaknya Tuhan yang menjadi cahaya kerohanian bagi setiap manusia. Sedangkan latar berwarna hitam melambangkan warna alam atau warna asli, yang menunjukkan bahwa Tuhan bukanlah sekedar rekaan manusia, tetapi sumber dari segalanya dan telah ada sebelum segala sesuatu di dunia ini ada. Di bagian kanan bawah terdapat rantai yang melambangkan sila kedua Pancasila, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Rantai tersebut terdiri atas mata rantai berbentuk segi empat dan lingkaran yang saling berkait membentuk lingkaran. Mata rantai segi empat melambangkan laki-laki, sedangkan yang lingkaran melambangkan perempuan. Mata rantai yang saling berkait pun melambangkan bahwa setiap manusia, laki-laki dan perempuan, membutuhkan satu sama lain dan perlu bersatu sehingga menjadi kuat seperti sebuah rantai. Di bagian kanan atas terdapat gambar pohon beringin yang melambangkan sila ketiga, Persatuan Indonesia. Pohon beringin digunakan karena pohon beringin merupakan pohon yang besar di mana banyak orang bisa berteduh di bawahnya, seperti halnya semua rakyat Indonesia bisa “berteduh” di bawah naungan negara Indonesia. Selain itu, pohon beringin memiliki sulur dan akar yang menjalar ke mana-mana, namun tetap berasal dari satu pohon yang sama, seperti halnya keragaman suku bangsa yang menyatu di bawah nama Indonesia. Kemudian, di sebelah kiri atas terdapat gambar kepala banteng yang melambangkan sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan / Perwakilan. Lambang banteng digunakan karena banteng merupakan hewan sosial yang suka berkumpul, seperti halnya musyawarah di mana orang-orang harus berkumpul untuk mendiskusikan sesuatu. Di sebelah kiri bawah terdapat padi dan kapas yang melambangkan sila kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Padi dan kapas digunakan karena merupakan kebutuhan dasar setiap manusia, yakni pangan dan sandang sebagai syarat utama untuk mencapai kemakmuran yang merupakan tujuan utama bagi sila kelima ini.
         Pada perisai itu terdapat garis hitam tebal yang melintang di tengah-tengah perisai. Garis itu melambangkan garis khatulistiwa yang melintang melewati wilayah Indonesia. Warna merah dan putih yang menjadi latar pada perisai itu merupakan warna nasional Indonesia, yang juga merupakan warna pada bendera negara Indonesia. Warna merah melambangkan keberanian, sedangkan putih melambangkan kesucian.




Pita dan Semboyan Negara
     Pada bagian bawah Garuda Pancasila terdapat pita putih yang dicengkeram dan bertuliskan “BHINNEKA TUNGGAL IKA”  dengan huruf latin, sebagai semboyan negara Indonesia. Perkataan bhinneka tunggal ika merupakan kata dalam Bahasa sansekerta, lengkapnya sesuai dalam kitab sutasoma ialah: Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Darma Mang Rwa yang berarti “Budha dan siwa adalah satu dalam hakekatnya yang paling dalam”. Perkataan itu diambil dari kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular, seorang pujangga dari Kerajaan Majapahit pada abad ke-14. Kitab ini sendiri ditulis berdasarkan peristiwa pada masa itu, di mana sempat terjadi konflik antar agama (Hindu Siwa dan Budha). Kalimat inilah yang diambil untuk melambangkan keadaan warga negara Indonesia, meskipun berbeda suku, agama, adat, nilai, dsb  tetap merupakan satu kesatuan dalam naungan NKRI.
     Meskipun berbeda dalam hal suku, agama,dsb, manusia tetaplah manusia dengan hakekatnya sebagai manusia :D


HUT NKRI KE 68, hidup veteran, hidup LVRI, MERDEKAAA...!!! \(^_^)/ Nih Bonus... :D
Bonus bukan mitos... :P


Lambang Negara2 lain yang menggunakan garuda sebagai simbol