Sabtu, 06 Desember 2014

SOWAN KE TROWULAN VI


THE MAP*

        Perjalanan berlanjut ke situs di sisi timur, kami mengawalinya dengan mengunjungi situs Wringin Lawang. Dalam perjalan ke Wringin Lawang, kami kembali ke jalan utama Mojokerto - Jombang, kami melewati pusat perkulakan sepatu Trowulan. Kabarnya Trowulan pernah jaya dengan kerajian membuat sepatu. Hari memang masih pagi, hanya kami berdua pengunjung saat itu. Seperti sebelumnya di sini tidak ada biaya masuk, cukup mengisi buku tamu saja dan sumbangan seikhlasnya :)
     Wringin Lawang adalah sebuah gapura besar berbentuk candi bentar (gerbang terbelah), berada di tengah pemukiman, di bagian paling utara situs Trowulan, sangat dekat dengat jalan utama Mojokerto - Jombang, tidak seperti situs-situs di sisi barat yang letaknya jauh. Wringin Lawang yang dalam arti harfiahnya berarti "Pintu Beringin" banyak diduga sebagai pintu gerbang menuju kota Majapahit, karena memang letaknya memenuhi kriteria untuk disebut sebagai gerbang utama. Jika mengunjungi/ melewati Trowulan dari arah utara kita memang akan disambut terlebih dahulu oleh situs ini, seolah memberitahukan kepada siapa saja yang lewat, bahwa mereka telah memasuki kawasan kota Majapahit di masa lalu.


KINI SEPI: PAS DI DEPAN PUTAR-BALIK

WRINGIN LAWANG: PAGI HARI
     
       Tak lama setelah kami, satu keluarga kecil juga datang mengunjungi situs. Sejak dari sini, kami akan terus bertemu mereka di situs-situs selanjutnya (rupanya itinerary kita sama).  Setelah Wringin Lawang, alih-alih mengunjungi museum atau Kolam Segaran, kami lebih memilih melewati semua itu dan mengunjungi situs yang berada paling barat (terjauh dari jalan utama Mojokerto - Jombang) terlebih dahulu, Candi Tikus. Saat kami hampir mendekati perempatan besar Trowulan (lalu berbelok ke kiri) lalu lintas begitu ramai, karena hari ini bertepatan dengan hajat kota kecil Trowulan :) kebetulankah ini? mungkin iya, mungkin juga tidak, atau memang sudah berjodoh dengan momentum besar ini hehehe... :) Kesimpulannya adalah datanglah ke Trowulan setiap tanggal 10-11 November, dan menginaplah di Pendopo Agung (tapi kalau mau kasur empuk, menginaplah di Vihara) :D.
        Tidak sulit menemukan Candi Tikus, tinggal mengikuti peta saja :) Bagaimana masuknya? Mungkin sudah tidak perlu ditulis ulang, yup gratis. Dibandingkan dengan situs lain yang telah kami kunjungi, di sini lumayan ramai, kebetulan berbarengan dengan rombongan besar satu minibus. Pertanyaan pertama setelah sampai di tempat ini adalah tentang penamaannya, kenapa harus tikus? heheheee... kenapa tidak kupu-kupu atau jangkrik misalnya kwkwkwkkk... :v Ini bermula ketika awal ditemukannya candi ini (tepatnya saat penggalian) ternyata candi yang sudah terkubur entah berapa ratus tahun itu dijadikan pemukiman ribuan tikus tanah, sepertinya mereka menemukan yang sangat padat penduduk kwkwkwkkk :D Letak bangunannya memang menjorok ke bawah, lebih rendah dari dataran di sekitarnya, seolah-olah tidak terdapat apapun jika melihat situs ini dari jalan. Candi Tikus merupakan pentirtaan/ pemandian. Pusat mata airnya terletak di tengah dan harus turun meniti undak-undakan jika ingin sampai ke bawah. Terkadang kolam ini akan dipenuhi air, tetapi tidak ketika kami berada di sana. Hari menjelang siang ketika kami beranjak meninggalkan situs, sekali lagi menunda lapar dengan sebungkus cilok dan segelas pop ice yang banyak dijual di luar area situs. Makan siangnya nanti saja, berharap mengenyangkan perut dengan lalapan ikan wader dari hasil tangkapan penduduk di Kolam Segaran hehehe... :)

CANDI TIKUS

       
       Selanjutnya adalah Candi Bajang Ratu, karena tadi sudah melewati, jadi tinggal putar balik saja :D Ada hal yang tidak kalah menarik dibandingkan dengan situsnya, apa itu? yup buah Maja, buah yang terkenal dan melegenda itu loh hehehe... Sedikit mengulang kisah ketika Raden Wijaya dan pengikutnya membuka hutan.
 

      "...Raden Wijaya yang kala itu memimpin ke utara berhasil meloloskan diri bersama sekitar duabelas pasukannya yang tersisa. Ia lari dari kejaran sampai menyebrang ke Madura. Di Madura, ia meminta perlindungan kepada Arya Wiraraja. Arya Wiraraja menyanggupinya dan membujuk Jayakatwang agar melepaskan Raden Wijaya. Karena Arya Wiraraja yang meminta, Jayakatwang pun mau. Akhirnya Raden Wijaya kembali ke Singhasari dan berkumpul dengan para istrinya. Ia kemudian diberi sebuah lahan untuk dibuka, lahan tersebut masih berupa hutan dan berada di daerah Trowulan - Mojokerto. Disaat membuka hutan itulah para pekerja yang kehausan menemukan sebuah pohon yang memiliki buah yang terlihat menyegarkan. Karena banyak pohon yang seperti itu, akhirnya para pekerja itu mengumpulkan buahnya dan mempersembahkan kepada Raden Wijaya. Saat dimakan ternyata buah itu berasa pahit. Dan jadilah buah itu diberi nama Maja karena rasanya pahit melilit. Dan tempat baru itu diberi nama Majapahit. Kemudian diangkatlah Raden Wijaya sebagai akuwu di daerah itu. Banyak rakyat Singhasari yang loyal kepada Kertanegara pindah ke Majapahit."
Selengkapnya di sini



PLANG YANG DIPAKU: POHON MAJA
ASAL NAMA KERAJAAN MAJAPAHIT

BUAH MAJA

      Lalu tentang situs Bajang Ratu sendiri, sebenarnya adalah sebuah gapura berbentuk paduraksa (gerbang beratap). Berlawanan dengan Wringin Lawang yang didaulat sebagai gerbang utama memasuki kota Majapahit, Bajang Ratu dianggap sebagai pintu belakang yang diduga menuju ke pemakaman Raja Jayanegara (Raja kedua Majapahit), begitu pula dengan penamaannya, Bajang Ratu yang berarti Raja kecil yang bila dikaitkan dengan Jayanegara karena penobatannya sebagai Raja muda di daerah Daha ketika dia masih batita (bawah tiga tahun) pemerintahannya di daerah persemakmuran Majapahit (Daha/Kediri) diwakili oleh Lembu Sora yang kala itu menjabat sebagai Patih bawahan di Daha.
 

GAPURA BAJANG RATU

       Perjalanan berlanjut ke situs Troloyo, ini merupakan komplek pemakaman Islam, kami hanya parkir sebentar saja dan tidak masuk ke komplek karena melihat suasana yang begitu riuh dan panas menyengat disamping juga sudah mulai capek dan kejar waktu (begitu banyak rombongan entah berapa bis yang parkir, belum lagi carteran, mobil pribadi, entah berapa ratus orang yang mengunjungi, dan mereka semua punya satu tujuan, berziarah ke sebuah makam yang diklaim sebagai makam Sayyid Djumadil Kubro). See... Majapahit ternyata sudah begitu bhinneka di zamannya :)  


LUAR, PUSARA, DAN DALAM MAKAM*

      Berikutnya adalah Candi Kedaton dengan sumur upasnya yang melegenda, letaknya masih masuk lagi ke jalan pemukiman penduduk yang lebih sempit tetapi masih beraspal, sebelum itu terdapat juga situs Lantai Segienam yang letaknya benar-benar di dalam pekarangan orang, keduanya saling berdekatan (berjarak sekitar 300 meter) dalam satu jalan. Kita akan menemukan Lantai Segienam dahulu, kemudian Kedaton.
      Situs Candi Kedaton lebih berupa pondasi bangunan yang memiliki ruang bawah tanah rumit. Ruang bawah tanah berupa lorong-lorong yang diduga sebagai jalan rahasia yang berhubungan dengan banyak bangunan-bangunan penting di kota Majapahit pada masa lalu, bahkan kerajaan lain dan tempat pelarian di luar kota. Sedangkan bagian atas bangunan mungkin sekali berupa bangunan berdinding kayu (menurut saya sih). Kedaton diartikan sebagai keraton atau puri tempat tinggal Raja-Ratu. Sampai saat ini masih belum terpecahkan bagaimana bentuk awal bangunan dan tujuan serta fungsi bangunan. Mungkin dulunya tempat ini merupakan keraton utama keluarga raja (sedangkan singgasananya diduga berada di tempat pendopo agung sekarang) karena digunakan untuk tinggal, struktur bangunan atas terbuat dari kayu, mungkin dengan ukiran, bentuk dan simbol yang indah... megah dengan atap yang tinggi dan berukir... :) sehingga tidak heran bila bangunan ini hanya tersisa sebuah pondasi datar yang luas yang semakin digali semakin tidak ditemukan jawabannya kecuali lorong-lorong rumit sebagai jalan pelarian raja dan keluarganya bila terjadi bahaya, pemberontakan misalnya, yah mungkin saja begitu (lagi-lagi cuma menurut saya lho ya). Komplek ini lumayan luas dan lengkap, selain Kedaton terdapat juga gua dan sumur. Gua yang diduga sebagi tempat semedi raja, dan sumur yang sampai sekarang begitu disakralkan dan ditakuti penduduk turun temurun, mungkin saja karena itu adalah mata air yang digunakan raja dan keluarganya sehari-hari (kembali asal tebak) hehehee... Entah sejak kapan tersiar kabar dan mitos-mitos seram dari sumur itu sehingga tidak ada yang berani mengambil airnya ataupun berlama-lama berada di dekatnya. Saya maklum, zaman dulu, mitos mengerikan umumnya memang diciptakan untuk melindungi sesuatu dari perusakan/ penjarahan. Let a mystery stay in mystery :) Dan kami termasuk dari yang percaya akan itu, bisa ditebak, kami tidak masuk, hanya mingintip dari luar, sudah sejauh ini padahal hahahahaa... :v


FROM THE OUTSIDE: KOMPLEK CANDI KEDATON

RERUNTUHAN KEDATON DAN SUMUR UPAS*

LORONG KEDATON, DALAMNYA SUMUR UPAS*

    Putar balik dan mampir ke situs Lantai Segienam. Karena letaknya yang nyungkani, kami mampir sebentar sekali, takut mengganggu yang punya pekarangan, itupun hanya saya yang turun ke lokasi hihi... :D Kondisi situs sudah hancur lebur hanya menyisakan dasar pondasi yang tidak bisa dikenali lagi. Di situs ini ditemukan susunan ubin berbentuk segienam (istilah sekarang paving) kira-kira ini dulunya apa, kira-kira sama dangan Kedaton (meskipun dari segi ukuran jauh lebih kecil), sebuah tempat tinggal (mungkin pejabat kerajaan atau yang lainnya, karena terlalu mewah jika hanya sebuah rumah penduduk). Bisa dengan atau tanpa lorong-lorong di bawahnya, (terakhir deh main asal tebaknya) hehehe... who knows :)




SELFIE? NO, THIS IS CALL TAKE A PICTURE BY MY OWN SELF!

Selanjutnya adalah kunjungan ke pendopo agung, museum dan membahas hajatan 11 November, next entry bubay... :)

Note: Foto bertanda (*) dari berbagai sumber di Google

Tidak ada komentar:

Posting Komentar