"Baiklah yuk disimak... :D Nama resmi candi ini adalah Candi Prambanan (sesuai dengan daerah di mana candi berada, seperti juga candi Singhasari), sedangkan nama Candi Sewu atau Candi Rara Jonggrang didasarkan dari cerita rakyat Rara Jonggrang. Sebenarnya siapa Rara Jonggrang itu? Apa kisah itu benar adanya..? Apakah benar....???" (Norma Yustisia, MENGINAP DI YOGYAKARTA IV)
Di atas merupakan potongan tulisan saya di MENGINAP DI YOGYAKARTA IV jauh sebelum saya membaca MAYA karangan Ayu Utami yang merupakan salah satu novel dari Seri Bilangan Fu. Novel ini terbit Desember 2013 dan saya baru bisa membelinya bulan lalu. Jadi... apa yang mau dibahas di sini tak lain adalah keterkaitan antara isi novel dan tulisan saya. Lho kok bisa ada kaitannya..? Tidak lain karena dalam novelnya kali ini Ayu membahas tentang candi Prambanan dan Sendratari Ramayana.
Di atas merupakan potongan tulisan saya di MENGINAP DI YOGYAKARTA IV jauh sebelum saya membaca MAYA karangan Ayu Utami yang merupakan salah satu novel dari Seri Bilangan Fu. Novel ini terbit Desember 2013 dan saya baru bisa membelinya bulan lalu. Jadi... apa yang mau dibahas di sini tak lain adalah keterkaitan antara isi novel dan tulisan saya. Lho kok bisa ada kaitannya..? Tidak lain karena dalam novelnya kali ini Ayu membahas tentang candi Prambanan dan Sendratari Ramayana.
NOVEL KOLEKSI: KANTUNG SEMAR SEBAGAI GAMBAR SAMPUL |
Novel ini menghubungkan dengan Seri Bilangan Fu dan Dwilogi Saman-Larung, begitu yang tertera di sampul belakang buku. Memang demikian inti dari novel ini menceritakan kembali pencarian Saman oleh Yasmin. Yasmin dan Saman yang di akhir novel Saman menjalin percintaan, dilengkapi kembali kisahnya di sini (sebagian berupa potongan - potongan adegan yang tidak diceritakan di Saman). Setelah Saman menghilang, barulah Yasmin menyadari bahwa dirinya mengandung. Di sini tampak sekali Ayu ingin membuat pembaca mengerti pergulatan Yasmin yang didera rasa bersalah terhadap suami dan hidupnya sekaligus perasaan yang bahagia terkait hubungannya dengan Saman dan anak yang lahir kemudian.
Di awal cerita muncul kembali tiga tokoh dalam novel Larung, para mahasiswa yang dulu coba dilarikan oleh Saman dan Larung, juga datangnya tiga pucuk surat dari Saman kepada Yasmin setelah kehilangan yang lama. Di surat ketiga ikut juga sebuah batu mulia (akik) yang disebut dengan batu supersemar. Batu inilah yang kemudian membawa Yasmin mendatangi padepokan Suhubudi, guru kebatinan, Bapaknya Parang Jati di desa Sewugunung, Gunung Kidul. Yasmin dalam Dwilogi Saman-Larung digambarkan sebagai sosok wanita yang mencintai kehidupan sempurna dan tidak tertarik dengan klenik, kali ini menjadi lebih terbuka karena keyakinannya untuk menemukan Saman lebih kuat dari apapun.
Tidak seperti tiga novel sebelumnya (Bilangan Fu, Manjali Dan Cakrabirawa & Lalita) Maya sama sekali tidak menyertakan Marja dan kekasihnya (Sandi Yuda) sebagai lakon, otomatis Parang Jati menguasai keadaan seorang diri, baik di masa lalu dan masa kini. Dialah penemunya dan yang menghadiahkan kepada Saman ketika statusnya masih seorang Frater, batu akik supersemar. Semua tokoh seperti menjadi sentral, ketika Maya muncul sebagai salah satu anggota dari Klan Saduki. Meskipun Maya dan Klan Saduki pernah di bahas dalam novel sebelumnya, baru di novel inilah nama digunakan untuk menggambarkan dirinya. Dia yang kemudian dihadapkan-hadapkan dengan Yasmin, seperti menggambarkan filosofi Rwa Bhineda. Hitam dan putih, di sinilah konsep kesempurnaan pertamakalinya digugat bahkan oleh seorang seperti Yasmin.
NOVEL KOLEKSI: DWILOGI SAMAN-LARUNG |
Akhir dari novel cukup rumit bila tidak bisa dibilang legowo ending. Tapi ada bab - bab menarik yang membahas Prambanan dengan lebih intim. Reka ulang percakapan antara Yasmin dan Larung yang (lagi-lagi) tidak dimunculkan dalam novel Larung.
"Perhatikan namanya: Lara Jonggrang. Ataukah Prambanan? Kita tak tahu lagi namanya semula...... Lalu Larung membawanya kepada patung batu itu, yang terletak dalam salah satu ruang di rahim candi utama: arca Lara Jonggrang. Artinya: Dara semampai." (Ayu Utami, Maya, Hal:161)
Di halaman berikutnya, lewat tokoh Larung, Ayu menceritakan kembali kisah Lara Jonggrang dan Bandung Bondowoso. Entah Ayu atau KPG, Ada sedikit kesalahan cerita yang saya yakin merupakan ketidaksengajaan. (Baca kembali kisah Lara Jonggrang di Sini). Percakapan antara Larung dan Yasmin di bab 28 juga pernah saya bahas dalam tulisan saya. Di bagian ini saya dan Ayu menyepakati satu hal tentang Lara Jonggrang :P (Lihat tulisan saya di MENGINAP DI YOGYAKARTA IV).
"Legenda Lara Jonggrang hanyalah satu lapis cerita, selapis yang lebih muda.... Jadi orang-orang yang menuturkan legenda tentang perempuan cantik menjelma batu sesungguhnya juga tidak tahu lagi tentang asal mula candi ini. Sudah kubilang: bangsa ini mudah melupakan kejadian...... Jadi arca perempuan cantik ini bukan Lara Jonggrang? Tahukah kau siapa dia: perempuan yang berdiri di atas seekor hewan, bertangan delapan, memegang senjata segala dewa? Dia adalah Durga Mahishashuramardini. Artinya Durga yang mengalahkan Mahishashura." (Ayu Utami, Maya, Hal:163)
Selebihnya bab ini membahas masalah yang tak kalah menarik, tentang Surat Perintah Sebelas Maret yang gamblang dan Pancasila yang tersirat. Supersemar memang menjadi bahasan yang penting dalam novel ini, hingga diwujudkan dengan lakon pasif yang nyata berupa batu mulia.
Setelah muter-muter... saya ingin kembali ke judul... lha iya judulnya Ramayana Dalam Novel Maya tapi daritadi belum dibahas juga hehehe... :D. Lalu Maya, siapakah Maya di sini? Namanya begitu spesial sehingga Ayu memilihnya sebagai judul. Maya adalah salah satu anggota Klan Saduki, sekumpulan manusia cacat yang dipelihara oleh Suhubudi di Padepokannya. Ia digambarkan sebagai seorang wanita kerdil yang albino dengan rambut putih dan tipis, meskipun begitu ia memegang peran menari sebagai Sinta dalam sendratari (orang cacat) Ramayana, khusus di padepokan pertunjukan ini digelar, penontonnya para tamu padepokan, termasuk Yasmin dan putrinya, juga Saman di masa lalu. Maya sendiri berarti tidak tampak, tidak ada tapi sesungguhnya ada. Maya juga merupakan nama lain yang lebih resmi dari Semar yaitu Sang Hyang Ismaya. Begitulah Maya yang seakan terlihat maya karena wujudnya yang putih bak manusia tembus pandang sehingga Suhubudi menamakan dirinya demikian.
Ramayana di Indonesia sendiri adalah kisah saduran dari kitab Ramayana dari India, ini pula yang dijelaskan oleh Ayu. Orang Jawa memang pintar menyadur dan mencampur kebudayaan luar dan negeri sendiri. Kisah Ramayana di Indonesia menggunakan setting dan pakaian ala orang Jawa. Jadi di sini kita sudah tidak bertemu lagi dengan Sinta atau Sita (India) yang memakai sari, melainkan Sinta yang sudah memakai jarik dan kemben. Kenapa Ramayana, kenapa Prambanan, tak lain karena Prambanan sendiri dipahat dengan Ramayana sebagai reliefnya. (Baca relief Prambanan di MENGINAP DI YOGYAKARTA V) Satu lagi yang unik dari Ramayana Made In Indonesia, yaitu hadirnya para Punakawan (Semar, Gareng, Petruk, Bagong). Yang ditonjolkan Ayu dalam novel Maya tentunya Semar. Lalu siapakah gerangan Semar itu... Mmmm... saya tidak akan membahasnya terlalu jauh di sini :P Bukan karena malas mengetik tentunya, karena memang Semar memerlukan pembahasan tersendiri dengan judul lain :P
NOVEL KOLEKSI |
Jika dipetik pelajaran, Ramayana menceritakan tentang kesetiaan. Seperti kata Ayu, Ramayana adalah kesetiaan, kesetiaan Rama pada kata-kata, Sinta pada suami dan Laksmana pada saudara. Saya mulai mengenal Ramayana dari pola pintu rumah orang tua (sayangnya sekarang sudah pindah) pintu dari kayu lapis yang berpola kisah pewayangan di zaman itu sedang populer. Kebetulan yang di rumah itu tema wayangnya adegan ketika Sinta di bawa terbang sama Rahwana sambil digrecoki Jatayu :D Lalu mulailah saya membaca-baca novelnya, waktu itu masih kelas 2 SD, bukan Novel seperti gambar di atas, ini karangan orang lainnya lagi dari masa yang lebih lama dengan judul bebeda, "Sri Rama Gandrung" Gandrung di sini artinya orang hilang akal >_<. Waktu main ke Prambanan dulu memang tidak sempat ikut menonton sendratarinya, karena malam hari dan tidak termasuk dalam itinerary kita :(
SENDRATARI RAMAYANA PRAMBANAN |
"Para penari berpakaian manik-manik emas. Wajah mereka dilukis indah dan gagah. Tubuh mereka semampai. Mereka bukanlah bayang-bayang. Mereka adalah keindahan itu sendiri. Tiba-tiba ia merasa, yang ia tarikan selama ini sungguh redup dan kusam. Tiba-tiba ia merasa tidak berharga. Ia tidak bisa lagi melihat keindahan pada dirinya sendiri." (Ayu Utami, Maya, Hal:80-81)
Dalam novel Maya memang digambarkan dan dibandingkan sendratari Ramayana di Prambanan dengan sendratari Klan Saduki. Diceritakan ketika Yasmin membawa Maya menonton sendratari Ramayana "sungguhan" yang justru membuat Maya menjadi rendah diri dan menyadari sesuatu yang belum dia sadari sebelumnya, bahwa begitu besar kesenjangan antara dia sebagai Sinta dalam padepokan dan Sinta si penari cantik dari Prambanan. Saya menyimpulkan Ayu ingin menyampaikan pada pembaca bahwa kesempurnaan akan terlihat sempurna jika yang menjadikannya sempurna menjadikan sempurna. Seperti sendratari Ramayana Klan Saduki yang tetap membuat siapa yang menonton, menonton kesempurnaan.
"Ia merasa memasuki dunia dongeng makhluk lain. Makhluk punakawan...... Dengan kisah yang ia ketahui: Rama dan Sita..... Rasa itu agak menakjubkan. Rasa ketika kau berubah selera dan memahami sesuatu yang sebelumnya tak bisa kau fahami. Kau tiba-tiba merasakan keharuan pada sesuatu yang telah kau anggap tak sempurna." (Ayu Utami, Maya, Hal: 31-32)
SENDRATARI RAMAYANA BALI DIWUJUDKAN DALAM TARI KECAK |
"Makhluk-mahkluk yang kini muncul di layar itu mengingatkan ia pada wayang Bali, bukan wayang Jawa. Wayang Jawa bertubuh tipis dan runcing, tetapi bayangan-bayangan ini dempal dan berkaki pendek...... Itu menjelma detik yang paling mengguncangkan bagi penonton. Mereka tetap di tempat duduk. Satu persatu penari tampil di muka layar untuk pertamakalinya. Lalu yang maya dan indah menjadi banal dan menakutkan." (Ayu Utami, Maya, Hal: 31-33)
RAMA WIJAYA KIRI: JAWA, KANAN: BALI |
Pertunjukan sendratari Ramayana Klan Saduki disuguhkan dengan menggunakan teknik seperti pertunjukkan wayang kulit Bali. Wayang kulit di Bali dimainkan oleh dalang di balik layar dengan menggunakan blencong (lampu minyak) sebagai penerang, sehingga orang yang menonton hanya akan menonton bayangan dari sisi lainnya (itulah kenapa disebut wayang = wewayang atau bayangan). Demikian dengan wayang wong yang biasanya berbentuk sendratari, akan dimainkan tanpa batasan tirai oleh para lakonnya yang tidak lain adalah manusia, seperti halnya sendratari Ramayana yang dipentaskan di pelataran Prambanan. Tetapi begitulah para wayang wong Klan Saduki Menarikan Ramayana di balik tirai, menyembunyikan wujud dalam bayang-bayang.
_KESEMPURNAAN BAHKAN BISA DI TEMUKAN DALAM KETERBATASAN_
Sekian
Sekian
*Sumber foto dari Google
*Tari kecak buka di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar